Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengupas Kisah Menarik Film "Hati Suhita" (Kesetaraan di Pesantren)

film hati suhita


Film "Hati Suhita" merupakan sebuah karya sinematik yang menarik dan mengangkat tema kesetaraan di pesantren. Film ini menceritakan kisah inspiratif seorang perempuan bernama Suhita yang memperjuangkan hak-haknya dalam mengejar pendidikan agama. Dalam artikel ini, kita akan mengulas lebih dalam tentang pesan kesetaraan yang dihadirkan dalam film ini.

Sinopsis Film "Hati Suhita"

"Hati Suhita" bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Suhita yang bercita-cita untuk menjadi seorang ulama. Namun, perjalanan Suhita tidaklah mudah. Ia harus berhadapan dengan berbagai hambatan dan stereotip yang menghambat dirinya sebagai perempuan dalam mengejar pendidikan agama yang diinginkannya.

Mempertanyakan Stereotip dan Diskriminasi

Film ini mengangkat isu kesetaraan gender di pesantren. Suhita, sebagai tokoh utama, mencoba mengubah pandangan masyarakat tentang perempuan dalam bidang keagamaan. Ia menantang stereotip dan diskriminasi yang ada, serta berjuang agar perempuan juga memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu agama.

Kesetaraan yang Kontras

Dari situ, film ini hendak menunjukkan makna kesetaraan dalam dunia pesantren. Bahkan, kesetaraan itu juga ditampilkan dengan penunjukan Alina sebagai kepala sekolah. Hal ini dipilih karena sosoknya dianggap memiliki kemampuan yang mumpuni. Namun, hal lain yang tidak dapat dinafikan adalah posisinya sebagai menantu.

Alina juga tampil berani untuk melobi Kiai Hanan yang notabene mertuanya untuk melancarkan proyek pembuatan film dokumenter mengenai pesantren. Lobinya itu berhasil dilaksanakan sampai mendapat izin pembuatan film tersebut dari semula yang enggan. Alina juga berhasil meluluhkan hati mertuanya yang menolak keras suaminya dalam membuat kafe dengan mengajaknya untuk mengunjungi secara langsung.

Menjadi janggal saat proses lobi tersebut dilakukan di masjid. Obrolan perizinan sesuatu biasanya dilakukan di dalam rumah kiai dalam suasana yang penuh ketakziman. Hal tersebut tidak tampak. Apalagi Kiai Hanan tampak tengah memantau santri mengaji. Semakin aneh dalam dunia pesantren.

Di samping itu, dalam film dokumenter itu sendiri, Alina menjelaskan bahwa pesantren tersebut mengusung kesetaraan antara santri laki-laki dan perempuan. Keduanya tidak dibedakan satu sama lain. Bahkan, ada forum bahtsul masail yang mendudukkan santri perempuan dan laki-laki beradu argumentasi dalam merumuskan dan memutuskan suatu masalah sosial kemasyarakatan dalam pandangan agama.

Sayangnya, tak ada adegan yang menunjukkan hal tersebut. Jangankan bahtsul masail, pengajian kitab para santri juga tidak ada adegannya sama sekali dalam film ini. Padahal mengambil latar pesantren yang notabene, pengajian kitab menjadi salah satu unsur penting dalam pesantren sebagaimana disebutkan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren. Ada satu adegan Kiai Hanan menyampaikan tafsir. Namun, adegan itu justru disampaikan kepada istrinya, bukan kepada para santri atau jamaah dalam suatu ceramah.

Pun kealiman Alina juga tidak ditunjukkan dalam film tersebut. Lebih-lebih, Alina justru bukan menyampaikan pengajian di pesantrennya, melainkan mengampu pelajaran sastra di sekolah. Barangkali, film ini hendak menunjukkan bahwa santri tidak hanya belajar mengaji, tetapi juga mempelajari pengetahuan umum.
Namun mestinya, hal utama itu tidak ditinggalkan begitu saja. Padahal, film bukanlah sekadar dialog, tetapi visual juga menjadi unsur yang tidak kalah penting. Bahkan sutradara bisa memainkan gambar itu untuk menunjukkan kesetaraan yang sesungguhnya, tidak sekadar melalui dialog yang non-sense. 

Paling tidak, ketika Alina menyampaikan hal tersebut, muncul adegan adu argumentasi antara santri laki-laki dan perempuan dalam film. Namun, nyatanya hal itu tidak ada. Padahal, sebagaimana disebut Blain Brown dalam Cinematography: Theory & Practice (2016) bahwa setiap elemen, warna, bayangan itu ada untuk satu tujuan dan bagiannya dalam visual dan skema penceritaan semestinya sudah terpikirkan secara matang.

Entah karena memang unsur kesetaraan atau lainnya, Kang Dharma juga tampil sebagai sosok yang terlampau berani terhadap Alina. Sekalipun Alina pernah menjadi muridnya di Pesantren Al-Anwar, tetapi ia sudah menjadi bagian dari keluarga pesantren tersebut. Sikap yang ditunjukkan Kang Dharma tidak mencerminkan kesantrian dengan dialognya yang terlampau ‘berani’. Apalagi penampilannya juga yang tidak mengenakan peci dengan celana panjang yang menggantung di atas mata kaki. Padahal posisinya saat itu bukan sekadar menemui Alina, tetapi juga menghadap keluarga Pesantren Al-Anwar yang menjadi tempat pengabdiannya semula.

‘Ala kulli hal, film Hati Suhita telah mengangkat pesantren ke dunia perfilman. Langkah demikian perlu untuk terus dilakukan agar wajah terbaik pesantren dapat terus hidup bukan saja di kalangan pesantren sendiri, tetapi publik secara umum.


Sumber : Nu Online

9014244961" data-ad-slot="7625084436" data-ad-format="auto" data-full-width-responsive="true">

Continue to Next Post

Code will appear in second