Kisah Nabi Yunus saat Ditelan Ikan: Keajaiban dan Pelajaran
Kisah Nabi Yunus saat ditelan ikan adalah salah satu cerita yang mengandung keajaiban dan pelajaran penting dalam agama Islam. Nabi Yunus, seorang rasul yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan ancaman azab kepada kaumnya, memutuskan untuk melarikan diri dan pergi ke kapal yang penuh muatan tanpa seizin Allah. Namun, Allah mengajarinya tentang kesabaran dan tunduk kepada kehendak-Nya melalui peristiwa yang menakjubkan ini.
Dikisahkan, setelah menyampaikan ancaman turunnya azab kepada kaumnya, Nabi Yunus ‘alaihissalam kemudian berjalan hingga di sebuah pesisir. Rupanya, kepergian Yunus ‘alaihissalam tanpa seizin Allah. Makanya, Dia menggambarkan sang nabi dengan “melarikan diri,” sebagaimana dilansir Al-Qur’an, “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan,” (QS Ash-Shaffat [37]: 139-140). Meski demikian, Nabi Yunus ‘alaihissalam tentu ridha terhadap segala ketentuan Allah. Ia menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Ini artinya, seorang hamba tidak boleh marah atau kesal atas ketentuan Tuhannya. Karena itu, ia pergi meninggalkan kaumnya tanpa seizin Tuhannya. Atas dasar itu pula, Allah melarang Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihissalam menjadi seperti nabi yang pernah ditelan ikan (Nabi Yunus ‘alaihissalam), sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya),” (QS Al-Qalam [68]: 48).
Dalam kisah tersebut, setelah Nabi Yunus berlayar dengan kapal, kapal tiba-tiba berhenti dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Kapal-kapal lain di sekitarnya tetap berlayar seperti biasa. Mereka menyadari bahwa kapal ini tidak akan bergerak selama Nabi Yunus berada di atasnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melemparkan Nabi Yunus ke tengah lautan agar kapal bisa melanjutkan perjalanan. Meskipun menolak awalnya, Nabi Yunus dengan rela hati menerima takdir tersebut.
Saat Nabi Yunus terjatuh ke laut, Allah memerintahkan seekor ikan besar untuk menelannya tanpa membahayakan nyawanya. Dalam perut ikan tersebut, Nabi Yunus mendengar tasbih dari kerikil dan hewan laut, yang membuatnya menyadari kesalahan dan dosanya. Dengan rendah hati, dia berdoa dan mengakui kesalahannya, serta memohon ampunan kepada Allah. Doa dan pengakuan tersebut mempengaruhi keselamatan Nabi Yunus, dan Allah mengabulkan permohonannya.
Allah kemudian memerintahkan ikan tersebut untuk memuntahkan Nabi Yunus di tempat yang telah ditentukan-Nya. Meskipun Nabi Yunus keluar dari perut ikan dalam keadaan sakit dan lemah, Allah menumbuhkan sebuah pohon labu di sekitarnya sebagai perlindungan dan penyembuhan bagi Nabi Yunus. Namun, ketika pohon itu kering, Nabi Yunus menangis karena kehilangan perlindungan itu. Allah mengingatkan Nabi Yunus bahwa dia lebih harus menangis untuk kaum yang akan diazab daripada menangis karena kehilangan pohon tersebut.
Dari kisah ini, kita dapat mengambil beberapa pelajaran yang berharga. Pertama, seorang mukmin harus tetap berpegang pada perintah Allah dan bersabar menghadapi hukum-Nya. Kita tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Kedua, Allah menguji hamba-hamba-Nya yang saleh saat melakukan kesalahan atau melanggar perintah-Nya. Namun, dengan keimanan, kesalehan, dan doa, kita dapat mendapatkan pertolongan dan keselamatan dari Allah.
Dalam perut ikan tersebut Nabi Yunus ‘alaihissalam mendengar tasbih kerikil dan hewan-hewan laut. Maka, ia pun menyeru dan bertasbih kepada-Nya seraya mengakui dan menyesali segala kesalahannya, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim,” (QS al-Anbiyâ [21]: 87).
Maka terdengarlah seruan itu oleh Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia, Dzat Yang Maha Mengangkat madarat dan ujian, Dzat Yang Maha Mendengar suara selemah apa pun, Dzat Yang Maha Mengetahui perkara samar walau sekecil apa pun, Dzat Yang Maha Mengabulkan permohonan meskipun besar, Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kesdihan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman, (QS al-Anbiyâ [21]: 88). (Ibnu Katsir, Al-BidAyah Wan-Nihâyah, jilid 1, hal. 233). Andai bukan karena tasbih dan taubatnya kepada Allah, niscaya ia sudah hancur dalam perut ikan, dan tinggal menunggu hari kebangkitan, Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit, (QS Ash-Shaffat [37]: 143-144). Setelah Nabi Yunus ‘alaihissalam berdoa, Allah memerintahkan ikan tersebut untuk memuntahkannya di tempat yang diperintahkan-Nya. Namun, begitu dimuntahkan, ia dalam keadaan sakit, lemah, dan kulitnya mengelupas, Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit, (QS al-Shâffât [37]: 145).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyerupakan kulit Nabi Yunus ‘alaihissalam yang mengelupas akibat gesekan yang dialaminya selama dalam perncernaan ikan seperti tubuh burung yang baru dicabuti bulunya. Nyaris tak ada bulu sedikit pun. D tempat Yunus ‘alaihissalam dimuntahkan, Allah menumbuhkan sebuah pohon seperti pohon labu, Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu, (QS Ash-Shaffat [37]: 146). Dikabarkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi Yunus ‘alaihissalam berlindung di bawah pohon labu tersebut. Ia memakan buahnya. Namun, selang beberapa lama, tumbuhan itu pun kering. Ia pun menangis, hingga Allah menurunkan wahyu sekaligus memberikan teguran kepadanya, “Engkau menangis karena pohon itu, bukan menangisi seratus ribu orang yang hendak engkau binasakan.” Demikian kisah yang disarikan dari hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, jilid 11, hal. 541, nomor hadits 1195, dari Abdullah ibn Mas‘ud, tepatnya dalam “Kitâb Fadhâ’il Yûnus.” Wallahu a’lam.