KH Ali Yafie: Ulama Multidimensional, dari Birokrat hingga Politikus dan Akademisi
kangsantri.net - KH Ali Yafie adalah nama yang familiar ketika membahas calon potensial untuk Rais Aam (Pemimpin Utama) Nahdlatul Ulama (NU) selama Kongres NU ke-28 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada akhir tahun 1989. Bersama dengan KH Achmad Siddiq dan KH MA Sahal Mahfudh, ia dianggap sebagai salah satu figur alternatif untuk posisi prestisius ini. Berasal dari Sulawesi Selatan, KH Ali Yafie sudah dikenal sebagai intelektual NU dan ahli dalam fiqh (hukum Islam).
Aspirasi Awal KH Ali Yafie
Diakui sebagai Intelektual dan Ahli Fiqh
Menurut majalah Tempo, KH Ali Yafie disebut sebagai calon Rais Aam. Saat itu, ia adalah seorang sarjana berusia 63 tahun dari Donggala, Sulawesi Selatan. Ali Yafie, seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) dan Universitas As-Syafi'iyah di Jakarta, sebelumnya telah membantu Kiai Siddiq dalam badan penasihat NU. Meskipun tidak memiliki latar belakang pesantren, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi F-PP ini dikenal karena kontribusi intelektualnya pada NU dan keahliannya dalam fiqh.
Didukung oleh KH Idham Chalid
KH Ali Yafie didukung oleh KH Idham Chalid untuk melanjutkan perjuangan Kiai Achmad Siddiq dan memimpin NU. Dukungan ini didasarkan pada hubungan yang erat antara kedua tokoh NU tersebut.
Perjalanan KH Ali Yafie dalam Kepemimpinan NU
Kepemimpinan Duet dengan KH Achmad Siddiq
Namun, selama Kongres NU ke-28 di Krapyak, KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid dipilih sebagai kepemimpinan duet NU. Meskipun demikian, KH Ali Yafie, yang sebaya dengan Kiai Achmad, diangkat sebagai Wakil Rais Aam PBNU. Ketika KH Achmad Siddiq meninggal dunia pada 23 Januari 1991, KH Ali Yafie naik untuk mengemban posisi kepemimpinan tertinggi dalam organisasi ini, yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah.
Mengundurkan Diri karena Kasus SDSB
KH Ali Yafie dikenal sebagai seorang pemimpin NU yang berintegritas. Pada tahun 1996, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rais Aam PBNU setelah tersandung kasus sertifikat tanah Surat Kuasa Pengelolaan Dana Bersama (SDSB). Keputusannya ini menunjukkan komitmennya untuk menjaga integritas organisasi dan menegakkan prinsip-prinsip kejujuran.
Kontribusi Politik dan Birokrasi
Anggota DPR-RI dari Fraksi NU
Selain berperan dalam kehidupan NU, KH Ali Yafie juga terlibat dalam politik dan birokrasi. Pada tahun 1967, ia terpilih sebagai wakil rakyat muda dalam Sidang Umum MPR. Setelah itu, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi mewakili fraksi NU. Ia juga menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Parepare dan kemudian PWNU Sulawesi Selatan.
Selanjutnya, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) melalui fraksi NU dalam pemilihan umum tahun 1971. Pada saat itu, NU masih merupakan partai politik sebelum bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Di dalam partai, ia juga menjabat sebagai salah satu Rais Majelis Syura.
Pengabdian di Bidang Akademik dan Perjalanan Intelektual
Meskipun terlibat dalam politik, KH Ali Yafie selalu menekankan pengabdian akademiknya. Ia aktif mengajar di beberapa universitas di Jakarta, termasuk Universitas Islam As-Syafi'iyah, Institut Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta, dan Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, di mana ia kemudian menjadi rektor dari tahun 2002 hingga 2005, melanjutkan kepemimpinan Prof. KH Ibrahim Hosen.
Pendidikan adalah bidang yang ia persembahkan. Bahkan sebelum pindah ke Jakarta, ia mengajar di berbagai kampus di Sulawesi, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dan IAIN Ujung Pandang, di mana ia juga menjabat sebagai rektor.
Pengabdian akademiknya didorong oleh cintanya pada membaca. KH Ali Yafie percaya bahwa membaca adalah kewajiban mutlak, karena wahyu pertama dari Allah SWT kepada umat Muslim melalui Nabi Muhammad SAW adalah tentang membaca. Dalam wawancara dengan tim NU Online pada Juni 2021, ia mengungkapkan pandangan ini.
Penutup
KH Ali Yafie, ulama multidimensional, memberikan kontribusi signifikan bagi NU dan masyarakat Indonesia. Dari keterlibatannya dalam politik hingga pengabdian akademiknya, ia meninggalkan dampak yang berbekas di berbagai bidang. Sebagai intelektual dan ahli fiqh, ia berbagi pengetahuannya melalui pengajaran dan menjabat sebagai pemimpin dalam NU dan organisasi terkemuka lainnya. Pengabdian dan dedikasinya pada agama, politik, dan pendidikan mengilhami banyak orang dan meninggalkan warisan penting bagi perkembangan Islam dan bangsa Indonesia.
Ikuti kami di Google News untuk mendapatkan update Berita Terbaru Dari KangSantri.net