Gus Baha: Pentingnya Merayakan Idul Adha Berdasarkan Observasi Lokal
Dalam artikel blog ini, kita akan membahas pentingnya merayakan Idul Adha berdasarkan observasi lokal daripada mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi. Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang dikenal dengan sebutan Gus Baha, memberikan pandangan berharga mengenai hal ini.
Memahami Matlak dan Signifikansinya
Gus Baha menjelaskan bahwa penting untuk mempertimbangkan konsep "matlak" ketika menentukan tanggal perayaan Idul Adha. Matlak mengacu pada tempat terbitnya benda-benda langit. Ia juga berfungsi sebagai batas geografis bagi keberlakuan pengamatan hilal atau dalam kata lain, daerah di mana pengamatan hilal dianggap valid.
Gus Baha menjelaskan bahwa meskipun Idul Adha mungkin dirayakan pada hari Selasa di Arab Saudi, bukan berarti daerah lain, termasuk Indonesia, harus mengikuti begitu saja. Alasan di balik hal ini adalah perbedaan matlak antara daerah-daerah tersebut.
Pentingnya Hisab Lokal
Gus Baha menjelaskan bahwa individu diperbolehkan melaksanakan shalat Idul Adha secara bersamaan dengan Arab Saudi, tetapi hal ini harus didasarkan pada hisab lokal (perhitungan astronomi) daripada mengikuti keputusan Arab Saudi secara buta. Penting memiliki dasar pengetahuan ilmiah yang kuat saat melakukan pengamatan agama semacam ini.
Salah satu perbedaan signifikan antara Arab Saudi dan Indonesia adalah matlak dan tanggal yang berkaitan dengannya. Selain itu, munculnya bulan baru terjadi dari arah barat di Arab Saudi. Oleh karena itu, lebih disarankan untuk mengandalkan perhitungan hisab lokal daripada mengambil pendekatan yang sembarangan. Karena pada hakikatnya, Allah telah menentukan bahwa manusia memiliki matlak yang berbeda, dan hukum-hukum Allah didasarkan pada matlak masing-masing individu.
Mengakui Perbedaan dan Menghindari Imitasi Buta
Gus Baha dengan tegas menekankan bahwa perbedaan dalam matlak tidak dapat disamakan. Namun, ia menerima dan menghormati perbedaan tersebut. Poin pentingnya adalah tidak menghalalkan mengikuti Arab Saudi tanpa alasan yang kuat. Sebaliknya, individu harus mengandalkan perhitungan hisab mereka sendiri, meskipun hasilnya berbeda dengan yang ditentukan oleh Arab Saudi. Menurut Imam Nawawi, masih sah jika perayaan Idul Adha terpaut satu atau dua hari.
Perbedaan Waktu antara Indonesia dan Arab Saudi
Gus Baha menyederhanakan masalah ini dengan menyoroti perbedaan waktu yang signifikan antara Indonesia dan Arab Saudi, terutama dalam lima waktu shalat harian. Saat Indonesia mengalami malam, Arab Saudi mungkin masih siang. Ketika Indonesia mengalami waktu subuh, tidak berarti negara lain juga mengalami hal yang sama. Bahkan, di daerah yang dekat dengan Kutub Utara dan Kutub Selatan, matahari jarang terlihat.
Gus Baha menambahkan bahwa tidaklah masuk akal untuk merayakan Idul Adha hanya berdasarkan posisi sentral Arab Saudi. Jika kita mengikuti jadwal Arab Saudi, waktu shalat subuh di Indonesia akan terjadi sekitar pukul 9 atau 10 pagi, padahal sebenarnya terjadi pada pukul 5 pagi. Di sisi lain, Arab Saudi mungkin masih tertidur ketika waktu subuh di Indonesia tiba.
Pentingnya Hisab Lokal dalam Kondisi Cuaca yang Tidak Mendukung
Gus Baha menjelaskan bahwa ia mendukung argumen bahwa individu harus merayakan Idul Adha pada hari yang sama dengan Arab Saudi setelah melakukan perhitungan hisab. Kemungkinan, menurut perhitungan tersebut, bulan baru seharusnya terlihat karena posisinya di atas tiga derajat. Namun, kondisi cuaca seperti awan atau hujan mungkin menghalangi pengamatan hilal.
Untuk memberikan ilustrasi, Gus Baha memberikan contoh dengan menggunakan bulan Ramadan. Jika hari ini adalah hari Senin dan awal Ramadan ditentukan melalui hisab, dan hari sebelumnya (Minggu) cuacanya mendung sehingga pengamatan hilal tidak jelas, maka harus disempurnakan (istikmal). Pertanyaannya adalah: Haruskah kita menetapkan Ramadan pada hari Senin atau Selasa? Jawabannya adalah Selasa. Berdasarkan metode hisab, berpuasa pada hari Senin tetap diperbolehkan.
Dalam kesimpulannya, merayakan Idul Adha berdasarkan observasi lokal memiliki arti yang besar. Hal ini memungkinkan komunitas untuk beradaptasi dengan matlak yang unik dan memberikan kesempatan untuk membuat keputusan berdasarkan perhitungan hisab. Dengan menerima variasi lokal ini dan menghindari imitasi buta, individu dapat memastikan bahwa praktik agama mereka sesuai dengan keadaan geografis dan astronomi yang spesifik.
Ingatlah, penting untuk menghormati dan mengikuti hisab lokal, bukan mengimitasi keputusan yang dibuat di daerah lain secara buta. Mari kita hargai keragaman perayaan kita dan merayakan Idul Adha dengan cara yang relevan bagi komunitas dan keadaan kita masing-masing.
Sumber Nu Online.
Ikuti Sosial media kami untuk mendapatkan update terbaru dari Kang Santri: